Haji Dan Perlawanan Terhadap Penjajah
Haji Dan Perlawanan Terhadap Penjajah
Haji Dan Perlawanan Terhadap Penjajah ini sebagai sebuah renungan, yang mana kita tahu Haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim. Bagi umat Islam di Hindia Belanda pada abad-19 dan awal abad-20, haji bukan sekadar untuk melaksanakan kewajiban rukun Islam kelima, melainkan juga sebagai sarana menuntut ilmu. Mereka memperpanjang masa tinggalnya di Mekah untuk mendalami ilmu Agama di Mekah. Kala itu Mekah dan Madinah memang telah menjadi mercusuar Islam. Para penuntut ilmu memandang kedua tempat tersebut lebih afdhal daripada tempat lain untuk menuntut ilmu. Jumlah Jamaah Haji yang terus meningkat dari Hindia Belanda sangat mengkhawatirkan pemerintah Belanda, sehingga mereka mengeluarkan berbagai peraturan yang mempersulit muslim Indonesia naik Haji.
Hal itu ditolak oleh penasihat pemerintah belanda yang khusus mendalami Islam, yaitu Snouck Horgrounje. Menurutnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah mencatat orang-orang yang pergi Haji dan melarang mereka untuk tinggal lebih lama di kota Mekah. Hal ini berdasarkan fakta bahwa pergi Haji ketika itu, sering dimanfaatkan sebagai ajang untuk menyebarkan paham kemerdekaan dan persaudaraan umat Islam di seluruh dunia yang dikembangkan gerakan kepemimpinan tunggal umat Islam atau khilafah yang saat itu sedang berpengaruh. Pemerintah juga harus selektif terhadap jamaah Haji dari Hindia Belanda karena tidak semua orang yang beribadah Haji itu fanatik dan berjiwa pemberontak. Banyak di antara mereka yang pergi ke Makkah hanya untuk beribadah haji saja.
PERTUMBUHAN JAMAAH HAJI DAN KEKHAWATIRAN PENJAJAH
Vredenbregt sebagaimana dikutip oleh Bruinessen menyatakan bahwa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah Haji Indonesia berkisar antara 10 sampai 20 persen dari seluruh jumlah jamaah Haji, dan bahkan pada dasa warsa 1920-an, sekitar 40% dari seluruh jamaah Haji berasal dari Indonesia. Dari bahan-bahan resmi dapat disimpulkan bahwa antara 1852-1858, setiap tahun rata-rata 2.000 jemaah berangkat dari Hindia Belanda. Pada tahun 1927 terjadi lonjakan tertingi, di mana jumlah jamaah Haji dari Hindia Belanda berjumlah 52.412 dibanding dengan 123.052 orang jemaah secara keseluruhan. Jumlah jemaah Haji yang terus meningkat ini sangat mengkhawatirkan pemerintah penjajah Belanda, karena mereka beranggapan bahwa para Haji inilah yang menjadi penyebab beredarnya fanatisme di kalangan pribumi.
Ketakutan pihak pemerintah kolonial ini telah mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk mengeluarkan berbagai peraturan dengan maksud untuk mempersulit penduduk untuk naik Haji, dengan harapan jumlah jemaah Haji bisa ditekan. Ternyata jumlah jemaah Haji ke Mekah tidak dapat ditekan dengan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, bahkan sebaliknya jumlah penduduk yang menunaikan ibadah Haji cenderung meningkat. Pernerintah kolonial mengeluarkan peraturan tahun 1825 dan 1859 untuk membatasi perjalanan Haji ke Mekah. Peraturan ini kemudian banyak mengalami perubahan, terutama setelah mendapat saran-saran dan nasehat dari Snouck, lantaran ia sendiri melihat para Haji bukanlah sebagai kelompok yang homogen, yaitu orang-orang yang semata-mata hanya ingin menunaikan ibadah Haji, tetapi di antara mereka ada sekelompok kecil yang datang ke Mekah bukan untuk ibadah Haji semata, melainkan untuk belajar, di mana mereka tinggal bertahun-tahun dalam kelompok yang disebut “Koloni Jawa”. Kelompok kedua inilah yang menurutnya berbahaya, sebab disinilah terletak jantung dari kehidupan Agama di Nusantara, dan merupakan saluran untuk memompakan darah segar dari kawasan ini dengan kecepatan tinggi kepada seluruh penduduk Islam di Indonesia.
Kekhawatiran terhadap Haji ini cukup beralasan, sebab bukankah Perang Paderi (1919-1932) diawali dengan kembalinya tiga orang Haji dari Mekkah pada tahun 1803? Demikian pula berbagai peristiwa perlawanan yang terjadi, dipimpin oleh para ulama dan Haji, seperti pada kasus Pemberontakan Cilegon pada tahun 1988. Dalam peraturan naik Haji tahun 1859, yang pada prinsipnya berisi tiga ketentuan, yaitu : calon Haji harus minta pas jalan pada bupati, tanpa ongkos resmi, calon Haji harus membuktikan bahwa dia mempunyai uang yang cukup banyak untuk biaya pulang dan pergi ke Mekah, dan biaya hidup keluarganya yang tinggal, dan setelah pulang dari Mekah, para Haji harus diuji oleh Bupati, atau orang yang ditunjuk oleh Bupati, dalam rangka menetapkan apakah seseorang berhak memakai gelar dan pakaian Haji. Menurut Hurgronje, melalui peraturan 1859 ini pemerintah ingin mencegah dua macam penyalahgunaan : pertama, terhadap pribumi yang pergi naik Haji tanpa menjamin keluarga yang ditinggalkan, kedua, terhadap tipuan pihak lain, yang karena kekurangan biaya perjalanan tidak mencapai tujuan. Secara sepintas tampak bahwa peraturan ini memang demi rust en orde (keamanan dan ketertiban), sebagaimana selalu dikumandangkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Namun demikian, ketentuan ini sebenarnya memuat tujuan terselubung dari pemerintah kolonial Belanda untuk mempersulit penduduk menunaikan ibadah Haji. Upaya pemerintah kolonial Belanda untuk menekan jumlah jamaah Haji dan mengantisipasi berbagai pengaruh yang mungkin ditimbulkannya, tidaklah sebatas mengeluarkan berbagai peraturan yang dapat mempersulit proses naik Haji, tapi juga dengan mengangkat Konsul Jenderal Belanda di Jeddah pada tahun 1872, dan mengirim Snouck Hurgronje pada tahun 1885 untuk tujuan “mengenal lebih dekat kehidupan sehari-hari orang Mekkah, dan ribuan Muslim yang tinggal di Mekkah, yang datang dari segala penjuru dunia, terutama orang-orang Indonesia yang disebut sebagai “Koloni Jawa”.
Konsul Jenderal Belanda mempunyai tugas antara lain mengawasi para Haji, khususnya para muqimin. Dalam menjalankan tugasnya, konsul Jenderal Belanda mempunyai seorang wakil yang bertempat tinggal di Mekkah. Dia harus memenuhi syarat tertentu, yaitu mahir berbahasa Arab, tidak menentang Belanda, dan tidak punya energi untuk selalu menghormati pegawai Arab dan Turki. Sedangkan Snouck yang masuk Mekkah dengan menyamar sebagai muslim bernama Abdul Ghaffar, bertugas meneliti dan mengamati situasi dan kondisi koloni Jawa di sana. Dengan penyamaran itu, dia dapat dengan leluasa “sebagai orang dalam” membicarakan masalah Islam dengan para ulama Mekkah. Dari hasil penelitian dan pengamatannya ia berkesimpulan bahwa di Mekkah lah terletak urat nadi kehidupan umat Islam yang akan mempengaruhi seluruh umat muslim, termasuk yang berada di Hindia Belanda. Pengetahuannya ini kemudian menjadi dasar baginya dalam merumuskan kebijakan politik Islam Hindia Belanda yang sangat berbeda dengan politik Islam yang ditempuh pemerintah kolonial Belanda sebelum Snouck voor Inlandsche menjabat sebagai Advis Zaken (Kepala Kantor Urusan Islam dan Pribumi, cikal bakal Kementrian Agama).
Setelah beberapa perlawanan yang dipimpin dan diilhami oleh para Haji, dan meningkatnya jumlah jamaah Haji, pemerintah kolonial memperketat pengawasan terhadap jamaah Haji dengan lahirnya ordonansi Haji tahun 1927 (stb. no. 286). Tujuan dari ordonansi Haji adalah untuk meghindarkan masuknya ide Khilafah(pan Islam) dari luar dan mencegah menyebar keluarnya agitasi anti Belanda ke Makkah. Snouck pernah memberi saran pada pemerintah kolonial agar melarang ibadah Haji pada tahun 1915, dengan alasan karena pada waktu itu Turki bersama Jerman sedang mencanangkan Jihad. Baginya mempertahankan kekuasaan atas tanah jajahan adalah tujuan utama. Sedangkan memberi kebebasan dan bantuan terhadap pelaksanaan ibadah Haji yang ia sarankan sebelumnya hanyalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan utama tersebut. (Sumber: Seraamedia). Abdul Ghaffar, bertugas meneliti dan mengamati situasi dan kondisi koloni Jawa di sana. Dengan penyamaran itu, dia dapat dengan leluasa “sebagai orang dalam” membicarakan masalah Islam dengan para ulama Mekkah. Dari hasil penelitian dan pengamatannya ia berkesimpulan bahwa di Mekkah lah terletak urat nadi kehidupan umat Islam yang akan mempengaruhi seluruh umat muslim, termasuk yang berada di Hindia Belanda.
Pengetahuannya ini kemudian menjadi dasar baginya dalam merumuskan kebijakan politik Islam Hindia Belanda yang sangat berbeda dengan politik Islam yang ditempuh pemerintah kolonial Belanda sebelum Snouck voor Inlandsche menjabat sebagai Advis Zaken (Kepala Kantor Urusan Islam dan Pribumi, cikal bakal Kementrian Agama). Setelah beberapa perlawanan yang dipimpin dan diilhami oleh para Haji, dan meningkatnya jumlah jamaah Haji, pemerintah kolonial memperketat pengawasan terhadap jamaah Haji dengan lahirnya ordonansi Haji tahun 1927 (stb. no. 286). Tujuan dari ordonansi Haji adalah untuk meghindarkan masuknya ide Khilafah(pan Islam) dari luar dan mencegah menyebar keluarnya agitasi anti Belanda ke Makkah. Snouck pernah memberi saran pada pemerintah kolonial agar melarang ibadah Haji pada tahun 1915, dengan alasan karena pada waktu itu Turki bersama Jerman sedang mencanangkan Jihad. Baginya mempertahankan kekuasaan atas tanah jajahan adalah tujuan utama. Sedangkan memberi kebebasan dan bantuan terhadap pelaksanaan ibadah Haji yang ia sarankan sebelumnya hanyalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan utama tersebut.
Itulah mengenai Haji Dan Perlawanan Terhadap Penjajah yang bisa tulisanguru.com tulisankan, semoga bermanfaat.